Catatan Tanpa Warna

"Kita tak pernah tahu cinta sejati datang dari jalan mana, tapi kita tahu kapan harus berhenti mencarinya."

Itu adalah hal yang tak terbantahkan olehku.

Hari ini 9 desember di musim hujan, merupakan hari yang tak terlewatkan di dalam hidupku.
Dia yang mewarnai hari hari ku memilih untuk pergi meninggalkanku untuk sementara waktu.
Dengan alasan ingin istirahat menenangkan hati dan memantapkan pilihan untuk tetap tinggal atau pergi untuk selamanya dari kehidupanku

Aku tak pernah menampik dan memaksakan kehendaknya sedari dulu, namun untuk keputusannya kali ini, sungguh aku tak kuasa menahan beratnya melepaskannya

Disini dan di hari ini, aku rela menerima keputusannya.
Tapi itu semua setelah aku 'berkomunikasi' dengan sang khalik di malam sebelumnya tanpa istirahat.

Aku memohon kepada-Nya untuk mengurangi beban dia, dan menepiskan keluh dunianya dan memohon untuk menjaganya dari aku yang akan ditinggalinnya.

Dalam sepi dan sendu di ujung malam itu, aku bersujud dan terdengar di dalam batin yang membisikan agar aku merelakannya sementara.

Sore hari dia kulepas.

Berahrap dia akan kembali segera dan memutuskan apa yng dia inginkan dari aku

Dan pada malam harinya, aku tak kuasa menahan derasnya air mata ini sebab tanpa kabar darinya adalah hal perih, sakit, dan sedih.

_wanita menangis dari hati dan lelaki menangis dari jiwa_

Ya ucapan itu tepat untuk ku, jiwa ku sedang diuji perih sakit.
Hari pertama

Hari ini tanggal 10 dan ini hari pertama aku tanpa dia.
Pagi ku yang biasa mengucapkan selamat pagi untuknya, kini tiada lagi. Dan pagi itu kuawali hari dengan tetesan air mata.

Aku berangkat ke kota Medan untuk memasukkan lamaran kerja ke salah satu perusahaan multinasional.

Aku pernah bekerja sebelumnya sebagai marketing asuransi di Bank terkemuka. Waktu itu, dialah yang menemaniku dari pagi hingga malam walau lewat komunikasi.
Dialah tempatku mencurahkan keluh kesahku di dunia kerja
Dan akulah pendengarnya disaat iya bercerita tentang kehidupannya di kota itu

Kami LDR. Aku pernah mrngatakannya bahwa aku tak masalahkan bila Ldr. Dan dia pernah pula mengatakan iya gak kuat Ldr. Dua hal yang bertolak.

Sebelum aku berangkat, Ingin sekali aku mengatakan dan menyampaikan ini kepada dia
' ya, aku berangkat ke medan ya mau masukkan lamaran kerja, doain aku yah. Love you'

Ditengah perjalanan aku ke medan, seolah langit menolakku siang itu.
Aku menepi dan berteduh di salah satu minimarket dan menunggu hujan reda.

Disinilah aku, dan beberapa orang lainnya menunggu hujan lebat reda. Sungguh suasana yang sendu ini, ingin sekali aku menelfonnya seperti sedia kala saat itu dan membunuh waktu menungguku dengan perbincangan perbincangan receh.

Namun itu tak mungkin terjadi. Aku hanya bisa menatap butiran air hujan yang jatuh dari langit dengan tatapan kosong dengan hati yang perih, aku bergumam
"Ya, kamu dimana? Sudah makan siang apa hari ini? Aku rindu kamu tauk'

Warna hari pertamaku tanpa dia kelabu, mendung, hujan. Sungguh Tuhan sangat mengujiku.

Aku mengurungkan niatku untuk memasukkan lamaran siang ini. Ini karena celana yang kupakai basah semua. Hanya baju dan tas yang tak basah sebab dalam lindungan jas hujanku.

Siang itu aku memutuskan untuk hanya meet up dengan rekan rekan kerjaku yang pernah bekerja sebagai marketing asuransi. Kami resain karena ingin meniti karir yang lebih baik lagi.

Setibanya aku di salah satu cafe medan ini, aku langsung memesan segelas kopi tubruk susu yang disajikan dengan gelas terbalik dan mengambil smartphone untuk mengabari mereka bahwa aku telah tiba di cafe tempat biasa kami meetup.

Mereka adalah Josy dan Cella. Mereka aku kenal di tempat kerja ku dulu. Aku dan josy bahkan saling kenal saat tahap interview pertama di perusahaan itu. Karena itu persahabatan kami cukup lama terbangun. Sedangkan cella merupakan wanita yang baru ku kenal di akhir akhir masa kerjaku. Josy terpaut 3 tahun diatas ku dan cella 2 tahun diatasku.

Cukup lama chat wastapp aku dibalas mereka. Hampir 3 jam aku menunggu balasan mereka. Dan selama itu pula aku membuka youtube diselingin 'mengintip' profil watsapp dia. Aku hanya ingin melihat dia online. Itu sudah membuatku agak tenang yang berarti dia masih dibumi.

'dek, sabar ya kami lagi di satlantas membuat laporan'.

Tetiba chat wa itu masuk dan sedikit mengagetkan ku.

'satlantas yang dimana ? Kenapa kalian ?' balasku.

Sekian menit gak dibalas akhirnya masuk telfon dari josy.

'bro, masih di cafe kan ? Nanti kami jeput untuk cari alamat yang nabrak kami ya'. Kata josy dengan tenang dari sebrang suara sana.

'eh iyaya bro. Aku tunggu.' jawabku singkat

Aku yang sudah tau bagaimana dewasanya josy mengemudi, tak terlalu risau. Aku merasa kali ini mereka baik baik saja.

Sembari aku menunggu mereka datang, aku kembali memantau profil wa nya dan melihat beberapa kali dia online. Perasaanku ? Jangan tanya. Akupun tak bisa menjelaskan. Yang kutau jiwaku lagi sedih.

Tak berselang lama, mereka tiba datang untuk menjemputku.

'gimana ceritanya kok bisa accident kalian ? Bagian mana yang kena?" Tanya ku santai ke mereka.

"Itu bro bagian bumper depan kena, engga nampak tadi yah ?". Josy balas sambil mengemudi.

' gak ku perhatiin bro. Gk teralalu kontras berarti kan ?' tanya ku ke mereka.

'engga sih dek, jadi begini ceritanya.' sambung cella.

Malam itupun aku disuguhkan bagaimana accident mereka terjadi. Pelaku yang berperwakan bapak bapak ternyata kabur begitu saja di tengah perjalanan ke kantor polisi. Namun plat pelaku sudah terekam di kamera mereka.

Mereka mengusut nomor plat tersebut hingga ke jajaran Polda sebab mereka memiliki relasi di kepolisan tersebut.

Setelah diusut, akhirnya mereka mendapatkan alamat si pemilik plat tersebut. Dan sekarang lah saatnya mereka bergriliya menyusuri alamat pelaku yang diperoleh dari jajaran Polda.

Singkat cerita malam itu kami memang menemukan alamat jalan tersebut. Namun sayang kami tak menemukan nomor rumah yang dicari. Kami juga bertanya dengan penduduk setempat  tentang pelaku dan tidak ada yang mengenalnya.

Lalu kami pun memutuskan untuk pulang karena sudah menunjukkan pukul 9 malam. Disatu sisi kami juga merasa kurang nyaman dengan daerah tersebut karena sosial disana sangat asing bagi kami.

Josy memutuskan untuk kembali mencari pelaku 2 hari lagi karena ingin mengumpulkan data yang lebih lengkap.

Aku pun akhirnya balik. Namun malam ini aku tak kembali ke kota asal ku. Tetapi menumpang di kos adik laki-laki ku yang sedang kuliah di salah satu PTN di Medan.

Sepanjang jalan kudengerkan lagu lagu favoritku melalui earphone yang kupasang didalam helm. Lagu lagu ini memiliki memory akan hadir dirinya dihidupku

Malam ini ingin rasanya ku menelfon kamu. Ingin sekali aku mendengarkan suara kamu ya. Namun apa daya, aku tak bisa.

Aku tutup cerita hari pertama tanpa mu dengan bisikan :
'aku sayang banget kamu, aku rindu kamu, kembalilah segera ke aku, jiwa ku sedih. selamat tidur ya'

Hari ke Dua


Aku awali hari kedua ini dengan ketidak tenangan hati. Bukan karena dia tidak ada lagi di layar kaca smartphone ku, tapi karena dia hadir dalam mimpiku tadi malam.
Mengajakku bercengkrama dan bercanda pada nuansa alam.

Tapi perlahan mimpi itu semakin terang, dan terang, hingga siluetnya pun perlahan sirna. Dan aku terjaga pagi itu

Pagi ini cuaca masih terlihat kelabu, masih sama seperti kemarin. Begitu juga jiwaku.

Aku yang masih di Medan, langsung bergegas menuju perusahaan yang ingin kumasukkan lamaran. Sebab hujan bisa saja turun kapanpun dengan kondisi seperti ini.

Sebelum aku berangkat, aku masih mengingat betapa aku selalu pamit kepadanya untuk pergi keluar.

'ya aku keluar ya antar lamaran, doain aku ya.. kamu sarapan tuh. Love you'. Itu gumam ku dalam hati. Semoga dia mendengar itu

Aku hidupkan motor dan berjalan menyusurin kota Medan. Kota ku dilahirkan.

Selepas aku mengantarkan lamaran itu, rasanya tidak mungkin aku kembali ke kotaku sebab langit sudah pekat hitam padahal baru menunjukan pukul 10 pagi.

Akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke kediaman josy untuk sekedar ngobrol.

Di tengah perjalanan menuju kediaman josy, alam menangis sejadijadinya.

Aku menepi, berteduh dan menunggu di salah satu mini market lagi (seperti kemarin).

Disinlah aku duduk termenung dengan segelas kopi khas suguhan point cafe.

Menit menit berlalu tanpa adanya tanda bila alam ingin menyudahi tangisannya. Ku buka beberapa sosmed dan tak kulewatkan profil sosmednya untuk sekedar mengintip onlinenya dia.

Hingga akhirnya ada seorang bapak duduk di sebelahku. Badannya kurang lebih setinggi ku, berisi dan menggunakan kacamata. Dengan pakian kemejanya rapi serta celana jeansnya, memperlihatkan gaya semi casualnya.

Seketika mata kami tertuju oleh rok penumpang wanita di mobil yang sisa kainnya masih ada tersisa diluar, sementara pintu sudah tertutup dan mobil melaju diantara hujan.

'eh bahaya itu, kok tukang parkir itu engga beri tahu.' kataku.
'iya bahaya itu, mungkin tukang parkirnya enggak nampak.' balas bapak itu sambil kami sama sama melihat mobil itu berlalu begitu saja.

Itulah awal mula percakapan kami.

Yah, aku emang terbiasa membuka percakapan dengan orang baru. Apalagi yang perawakannya lebih tua dari aku, aku mudah membuat suasana keki menjadi friendly.

Percakapan kami cukup legit untuk diwaktu yang tak tepat. Kami banyak beecerita seputar dunia kerjaan, karir dan dunia keluarga.

Belakang beliau mengaku kalau beliau alumni Fakultas Ekonomi Trisakti 2002 dan saat ini sedang ambil Tesis di salah satu PTN Medan. Beliau Menikah cukup muda dan berjodoh dengan orang kejaksaan. Beliau hilir mudik masuk dunia perbankan baik di jawa maupun sumatera walaupun perbankan swasta.

Banyak hal pengalaman aku peroleh di hujan itu. Itu semua tampak nyata dari mata bapak itu. Dan dari intonasi suara yang normal menandakan beliau jujur dalam setiap kata.

Seperti itulah mudahnya aku mencairkan suasana, tak peduli muda ataupun tua teman baru bicaraku.

Pembicaraan kami hampir sepenuhnya penuh keseriusan. Hanya beberapa bagian aja diselingin canda. Obrolan tentang kondisi bobroknya penegakan hukum, kondisi politik dan ekonomi bangsa ini merupakan candu bagi aku.

Tak terasa perbincangan kami nyaris 2 jam tanpa jeda yang melebihi mata najwa. Banyak intisari yang aku konsumsi setelah ku filtrasi. Penambahan wawasan dan pengetahuan menjadi bekal tersendiri untuk kedewasaanku kini.

"tentang cinta, gaperlu takut siapa jodohmu nanti bang. Karena Tuhan gapernah keliru, tapi kitalah yang ragu." Pak heri (2019), di jalan multatuli, Medan.

Itulah pesan yang paling berkesan selama yang kudapat dari percakapan kami sebelum akhirnya hujan mereda dan kami berpisah untuk tujuan kami masing masing.

Yah menepi, meneduh dan menunggu kali ini penuh kesan yang kembali membawaku kepada permasalahanku. Sebelum aku berangkat menuju kediaman josy, aku bergumam dalam hati yang masih perih.
"Iya bila kamu mendengar ini, maukah kamu tanpa ragu mencintaiku ?"

Siang hari aku dan josy habiskan waktu di rumah abangnya josy dengan istirahat tidur siang sembari menuggu ibu go-clean selesai membersihkan seisi rumah.

Sedikit kubertanya tentang ibu ini, beliau tinggal tidak jauh dari wilayah ini. Sehari hari dulu tukang nyuci dan pembantu. Namun karena tugas itu rutin dilakukan, beliau ingin mengurangi aktifitas itu, sehingga mendaftar di go-clean dengan ekspektasi beliau bisa mengaktifkan layanan sesuka hati asal tidak terlalu lelah.

Dari ibu ini aku melihat beratnya mengais rezeki di kota ini bila tak diimbangi teknologi. Bila ibu ini dulu menjadi tukang bersihin rumah dengan cara manual dan diupah sekitar satu jutaan perbulannya, tidak sebanding dengan upah yang diperoleh saat ini beliau bisa mendapatkan 120ribu perharinya hanya kerja 120 menit.

Yah aku sangat menghormati pioner inovator teknologi bila program mereka mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tak terasa hari sudah akan berganti. Matahari dari tadi tak terlihat. Mendung, gerimis, hujan dan gerimis. Begitu siklus yang terjadi di kota ini hari ini. Begitu sendu.

Malam ini kami duduk bertiga, aku josy dan cella di cafe tempat biasa. Mengingat malam semalam batal karena accident josy, maka malam ini sebagai gantinya.

Obrolan kami penuh warna kali ini daripada obrolanku tadi pagi dengan pak heri. Bila dengan pak heri nuansa percakapan lebih ke warna hitam, merah, putih, biru yaitu warna primer yang lebih jelas, serius, dan dalam makna. Maka dengan mereka warna yang terlihat soft, pudar. Yah percakapan ringan, banyak canda, ilusi, dan minim makna.

Mereka sebut pemikiran aku tak sesuai dengan umur. Sebab aku bukan hanya bisa mengimbangi topik dan pemikiran mereka, tapi bisa lebih.

Aku tak terlalu aktif pada obrolan malam ini. Karena jiwa ku belum sembuh. Beberapa kali aku stalking sosmed dia apakah online atau tidak. Beberapa kali kulihat dia online, dan hati aku masih ambyar melihat itu. Pesan terkhirku yang tak dibalas dan juga iya belum memberiku titik terang.

Sumpah ingin sekali aku beranjak dari sini dan pergi ke kotanya. Ingin kujampai dia dan memandang matanya. Ingin kusampaikan langsung air mata ini kepadanya agar iya percaya kalau aku nangis ambyar.

Tapi apa dayaku. Tuhan sampaikan rindu ini kepadanya. Aku rindu hatiku.

Obrolan malam ini tak sampai terlalu malam. Sebab hujan juga sudah reda sehingga aku yakin jalan lintas ke kotaku takkan hujan. Beberapa hal dalam obrolan kami kali ini kurang lebih begini :

Cella. Dia umur 25 dan baru putus 2 bulan lalu. Dia asik cerita tentang masalalunya di kalimantan dan betapa inginnya dia segera kerja. Dia menutup hatinya hingga memperoleh kerja, begitu katanya. Dia juga suka bayi, lucu katanya.

Josy, dia umur 26 dan putus 4 bulan lalu akibat diselingkuhi. Kami banyak ngobrol tentang otomotif mobil, kerjaan dan karir, adat istiadat batak dan kristiani, juga tentang percintaan (walau hanya selingan).

Jujur aku tak nyaman bicara dengan cella. Sebab bila aku melihat 'iya' disana juga asik ngrobrol dengan lelaki lain di malam gini, aku enggak menyukai itu.

Karenanya aku lebih intens ngbrol dengan josy. Obrolan kami lebih koneks satu sama lain walau hanya sekedar 'kode pria'.

Topik obrolan receh kami malam ini kututup dengan filosofi hujan, :
"Hujan itu bentuk kepastian, tapi kita disini masih menunggu kepastian." Kataku, disambut tawa dari mereka.

Malam itu pukul 10 malam aku pulang ke kota ku. Diperjalan aku dengarkan berbagai lagu favoritku dari headset. Mulai dari wanitaku Noah, hingga Jangan Perginya Killing Me Inside.

"Kembali, berputar arah datang padaku,
Kembali ada aku yang bisa memelukmu."
Sepenggal lirik wanitaku Noah.

Kisah malam ini kusudahin dengan lagu Virzha Aku lelakimu terkhusus untuk mu, iya.

Mungkin aku tak menuliskan banyak kisah hari ketiga. Aku juga berencana tak update sosmed dan tak stalking sosmednya.
Sebab aku ingin besok adalah klimaks aku ingin sedih, ambyar sejadi jadinya.

"Ya Allah, maafkan aku mencintai salah satu hambaMu yang tak mencintai aku. Aku pasrah berserah pada-Mu ya Rabb yang maha membolak balikkan hati manusia."

Hari Ketiga


Aku jatuh sakit. Dua hari berturut-turut dihantam hujan membuat imun ku turun dan akupun drop. Badanku panas kepalaku pusing, dan lidahku menolak nafsu makan. Sungguh lengkap derita ku hari ini. Mulai dari jiwaku yang sakit, hingga raga ini.

Aku bergumam dalam pejaman mata, "iya kamu dimana ? Kamu baik-baik saja disana ? Kalau kamu sakit juga, sungguh aku ingin menemani."

Aku yang selama ini berharap semoga gumam hatiku terdengar olehnya, kini sudah pasrah. Aku rela bila hatinya tak lagi mendengarkan aku, dan lebih mendengarkan hati yang lain.

Seharian aku bedrest. Puncak sakit dari jiwa maupun raga setelah kepergiannya. Aku hanya bersandar harapan pada Tuhan agar esok lebih baik dari ini.

Hari ke Empat


I felt better. Badai juga sudah reda. Langit langit memancarkan horison baru. Di ufuk selatan juga tak terbentuk awan. Tampak jelas dimataku lautan langit biru dan sinar mentari.

Aktifitasku kumulai dengan membaca berita di tak lupa stalking sosmed. Tapi perasaanku kini sudah membaik.

Luka yang tertinggal kini kubiarkan mulai menghilang. Iya yang selama ini selalu difikiran aku, tetap akan selalu difikaranku. Yah aku takkan mungkin meninggalkannya apalagi melupakannya. Hanya saja bila terfikirkan dirinya, aku sudah tak terluka seperti kemarin.

Embun pagi disini masih bisa dilihat. Pagi itu aku jalan jalan pagi sendirian. Beberapa tetangga yang sudah mulai beraktifitas juga ku sapa.

Tak ada yang spesial pagi itu, hanya saja aku mengkhawatirkan dia tentang kelulusan PNS yang dia ambil dan rencana pertemuan ilmiahnya yang akan diadakan di luar negeri beberapa hari.

Terbesit dikepala aku bila beberapa hari lagi aku mesti hadir kembali dikehidupannya. Yah aku ingin kembali dan menyudahi kesendirian ini.

Aku belum sanggup untuk kehilangan seperti ini. Aku kehilangan jiwaku.

Tapi aku juga mesti memikirkan konsukuennya. Bagaimana bila iya menolakku?,  bagaimana bila iya memutuskan untuk pergi meninggalkanku ? Dan bagaimana bila iya mengatakan aku gak dewasa keras kepala hanya memikirkan diriku aja ? .

Iya tak pernah berjanji apapun sama aku. Iya tak pernah berjanji kapan mau kembali.
Iya meninggalku begitu aja.

Karenanya aku mesti siapkan menerima segala konsekueansi dari responnya. Sama seperti aku mengatakan cinta padanya dulu. Aku siap lahir batin bila harus ditolak ataupun diterimanya.


Maka aku mesti siap lahir batin juga untuk kembali padanya.


Siang ini aku sudahi cerita ini sebab tak terlalu menarik untuk diceritakan. Semua flat datar seharian. Sekilas aku stalk sosmed iya hanya ada gambar kereta api. Bertanda iya sudah ke kotanya. Aku sudah berprasangka ada sesuatu hal yang akan dilakukannya. Tapu aku belum tau dan tak terlalu menerka.

Aku hanya mau lanjut rebahan sambil dengerin musik.

Hari ke Lima


Nyaris seminggu iya tanpa kabar. Aku tak tau dia sakit atau sehat. Semoga dalam keadaan sehat selalu.

Pagi seperti biasa aku antarkan ibuku ke kantor kerjanya. Di sepanjang jalan beliau memesankan aku agar terus semangat hidup, semangat kerja dan jaga keharmonisan hubungan dengan dia.

Aku tak memberitahu ke ibu bila kami sedang close contact. Tapi entah mengapa pesan ibu kembali mengingatkan ku tentang iya dan status yang diunggahnya.

Setelah kuantarkan ibu, aku lanjut ke lapangan tempat biasa aku olahraga. Ada beberapa orang disana. Tapi satu yang menarik perhatianku, dia seorang bapak berumur yang memiliki brewok putih, dan memakai training dari instansi pemerintah.

Usai memarkirkan motorku, aku langsung warming up, stressing dan larilari kecil. Udara masih terlalu segar. Matahari belum tampak dari ufuk timur karena kondisi berawan. Bahkan rerumputan masih basah sisa embun pagi.

Setelah beberapa menit aku olahraga dan kurasa cukup. Aku duduk berdiam diri dengan tatapan kosong menatap tiang bendera yang jauh di depan aku.

"haahh, capek." Suara bapak itu cukup kuat memecah lamunan ku. Aku menoleh kesamping dan senyum melihatnya.

"Wih bagus sepatunya pak. kenapa gak coba bersepeda aja pak ?." Tanya aku sambil melirik sepatu bagusnya.

"Ohh haha iya, anak saya beli dari luar negeri katanya." Jawab bapak itu.

"Ohh pantes, mantep pak. Kenapa gak bersepeda aja pak ?". Tanya aku sekali lagi. Biasa kan kalau bapak bapak berperawakan berada gitu lebih sering bersepada atau olahraga elit lainnya.

"Ooh ndak ada sepeda dirumah saya. Saya lebih suka langsung gini. Lebih terasa hehe." Jawab bapak itu yang berjalan ke arah tempat duduk ku.

"Ohh iyaya pak, bapak tinggal dimana ? Saya sering kemari pak dan baru ini lihat bapak." Tanya aku dengan gestur menyingkir sedikit dari tempat duduk ku  untuk mempersilahkannya duduk.

"Saya tinggal di kompleks bunga edelweish. Iya memang agak jarang saya kemari. Karena di komplek ada sudut olahraga juga." Balasnya

Komplek perumahan bunga edelweish terkenal ditempati para orang orang berada.

"Pak, droneuh urang Aceh ya ?" Tanya aku karena samaran dengan logatnya.

"Iya, kok tahu kamu ?". Tanyanya kaget tapi terlihat senyuman tipis diwajahnya.

"Hehe, lon peut thon bak banda aceh pak. Kuliah bak PTN disana." Jawabku dengan sedikit logat aceh dan senyum juga.

"ohh, pajan thon droneuh kuliah?". (Tahun kapan kamu kuliah). Tanyanya yang mulai tertarik dengan pembahasanku.

"2014 pak, baru juga selesai bulan 2 kemarin". Jawabku.

"Ohh asli aceh juga kamu?". Tanyanya dengan sedikit menggerakkan olahraga kakinya dan tangannya .

"Tidak pak. Saya asli disini. Cuma kuliah disana." Jawabku

"Bapak disni ? Usaha dagang pak ?" Tanyaku yang mulai beranikan diri nanya backgroundnya.

"Haha, iya gitulah.. orang kami emang sudah dikenal dengan usahanya ya." Balasnya dengan becanda.

"Haha iya gitulah pak, beberapa tahun disana saya mengerti sedikitlah tentang sosiology awak aceh pak, hehe." Balasku dengan becanda juga.

"Usahanya apa pak ? Kopi ?". Tanya ku dengan sedikit senyum heran.

"Haha iya, cukup banyak kamu tau ya tentang orang-orang aceh." Jawabnya dengan canda.

"Haha iyapak, sudah biasa saya bertemu dengan nasabah pengusaha dan orang aceh pula. Hehe." Jawabku dengan sedikit membuka background ku.

Obrolan kami lanjutkan dengan penuh candaan. Beberapa hal tentang diri bapak itu berhasil kuperoleh hanya diawali dengan sepatunya yang bagus.

Belakangan ku kenali bahwa beliau adalah anggota DPRD di kotaku. Beliau banyak cerita tentang banyak kegagalan dalam hidupnya. Mulai dari dunia usaha, dunia politik bahkan dunia anak muda beliau sering mengalami kegagalan.

"Dunia ini kecil, manusia aja suka tutup mata sehingga tak terlihat limit dunia ini." Kata bapak itu.

"Kehilangan itu pasti ada, cepat atau lambat pasti akan ada yang pergi tanpa pamit. Contohnya jabatan, bila Tuhan mau, besok saya ditangkap anti rusuah dan kehilangan jabatan hanya karena ada orang iseng membawa uang kerumah dengan cara fitnah." Kata beliau.

Perkataan itu amat dalam menyentuh untuk menyadarkan aku. Aku terdiam dan sedikit tersenyum melihat bapak itu.

"Kamu masih muda, tapi saya salut banyak hal sudah kamu ketahui. Percayalah dek ardhi, kalau kamu mendapatkan sesuatu hal maka kamu mesti siap kehilangannya. Lebih mudahnya lagi, selama masih di dunia maka siapsiap mental diri untuk kehilangan." Pesan beliau.

Entah kenapa bapak dewan ini bisa dihadapkan padaku pagi-pagi gini. Mungkin Allah sudah punya rencananya sendiri kenapa aku dipertemukan sementara dengan beliau.

Pesan terakhir beliau sangat menyentuh. Setelahnya beliau pamit. Dan saya mempersilahkan beliau sambil kulihatin beliau berjalan menuju mobilnya.

Dengan tampilan yang digunakan cukup mahal serta backgroundnya sebagai seorang dewan, aku tak menyangka pertemuan singkat ini begitu bernilai dan membekas di hidupku yang saat ini sedang berusaha bangkit.

Cuaca hari ini berawan. Pukul sudah menunjukan jam 9 pagi namun masih terlihat seperti pukul 7. Angin yang cukup kencang dan dingin ini, perlahan menusuk.

Kuperhatikan dari jauh beberapa anak muda bermain bola dilapangan. Sembari ku tonton mereka, fikiranku masih terbelenggu oleh pesan bapak itu. Sedangkan hati ini perlahan membuka lukaluka itu.

Siall, aku harus memaksa untuk menutupnya lagi. Namun, aku tak kuasa. Perasaanku kembali gak enak. Aku tak tau perasaan ini gimana, tapi rasanya pahit.

Perlahan aku mulai merencanakan kapan aku harus kembali ke kehidupannya. Dan aku memikirkan lusa. Yah aku memikirkan lusa malam aku beranikan diri untuk kembali ke kehiduannya. Dengan segala resiko ditolak, diusir atau diterima. Sudahlah aku pernah memilikinya, maka aku mesti siap kehilangannya (seperti kata bapak itu).

"Ya Allah, bila dia tak Engkau gariskan dihidupku, maka tuntutlah aku. Sadarkan aku. Dan kembalikan aku seperti sedia dulu kala, saat hati dan fikiranku kembali seimbang tak pincang seperti saat ini."

Tak sadar ku meneteskan air mata sembari aku berdoa dalam hati.

Aku bangkit dan beranjak kembali kerumah dengan sedikit mengitari kompleks perkantoran di kota ini. Cara menenangkan hati niatku.

Sore hari ini cuaca masih persis sama dengan pagi tadi. Sore ni entah kenapa aku melihat sosmedku. Dan terlihat update-tan dia. Dan kulihat dia di airport dengan seseorang lelaki. Ku tak mengenalnya. Tapi sepertinya dia pamit ingin pergi.

Masih kuingat jelas kalau dia pernah berencana akan berangkat ke luar negeri untuk pertemuan ilmiahnya. Tapi waktu itu dia berkata belum ada kejelasan. Namun kini jelas. Dia pergi keluar negeri tanpa pamit dari aku. Dan update-tan storynya pamit dengan cowo ?. Sungguh aku tak kenal lelaki itu. Bila lelaki itu adalah saudaranya, maka baiklah. Tapi aku tak kenal siapa itu dan aku makin terluka.

Mungkin karena hal ini perasaanku enggak baik dari pagi sampai sore ini. Yasudah aku putuskan untuk mengirim pesan text ke dia agar semoga selamat sampai tujuan dan agar acara di LN dapat berjalan lancar. Dan dia ? hanya membacanya.


Malam tiba dan berubah jadi kelam. Gerimis mengguyur kota ini. Bila reda, aku berencana pergi ke cafe langganan ku malam ini dengan sendiri.


Kala gerimis menjadi rintik, aku memutuskan untuk langsung berangkat ke cafe. Bekal yang kubawa hanya tas lengan yang berisikan smartphone, charger, earphone dan dompet.


Sesampainya, seperti biasa aku mesan kopi latte favoritku. Kuhidupkan wifi, melihat beberapa channel di youtube. Aku bukan gamers dan bukan pula pecandu nikotin. Bagiku itu hanya siasia. Aku hanya candu membaca. Apapun itu, aku suka membacanya.


"semestinya semua orang tak pendiam, hanya saja dia bersuara melalui fikiran, hati, tulisan maupun lisan."


Dan aku bersuara melalui hati, tulisan dan musik.


Yah aku ambivert. Orang yang bisa terlampau acuh maupaun tak acuh.


Di cafe cukup ramai seperti ini, aku betah sendirian duduk asik dengan duniaku sendiri. Dan bila aku mood, aku bisa saja membuka relasi baru hanya karena obrolan sederhana.


Malam ini aku mengabaikan watsapp ku. Selain tak ada yang chat, juga aku tak ingin stalking profilnya yang online namun tak kunjung reply. Berkat dia aku terbiasa bergadang, acuh dengan sosmed, dan kehilangan orang yang paling disayang.


Aku berharap, lagu Celengan Rindu dari bang Fiersa Besari bisa sampai ke hatinya. Betapa dalamnya rasa perihku, dikala gundah hadir, disitu juga rasa sakitnya diacuhkan dan ditinggalkannya. 


Malam ini kututup dengan lantunan nada yang akan dibawa udara ke negara dia berada.


_"memories..maroon five".


Hari ke Sekian.


"Aduhh !". Gumam ku, sembari berhenti dari joggingku dan memegangi betisku.


"Aduh, kenapa lah naik betis. Malah engga ada temen dan engga ada orang dikenal lagi." Gumam ku dalam hati.


Aku pun berjalan perlahan ke tempat duduk sekitaran jogging area dengan pincang sambil tangan memegangi paha belakang.


Akupun duduk sambil meluruskan kakiku dan memijat perlahan area betisku. Sepatu dan kaus kaki ku lepas. Masih tertahan jelas sakit betis ini dan aku butuh seseorang untuk menekan ujung kaki ku.


Kemudian ada seorang perempuan jalan hendak melewati aku. Perawakannya masih muda namun ku tak bisa menebak umur berapaan. 


"Mbak mbak, boleh minta tolong mbak ?". Pintaku ke wanita itu seraya menahan rasa sakit betis.


"Iya bang, boleh. Naik betis ya bang?". Tanyanya ke aku seraya berhenti tepat didepan kakiku


"Iya kak, boleh minta tolong tekan kaki aku kak ?. Maaf ya kak soalnya aku sendirian kemari." Pintaku ke dia. Biasa kalau disini bila kita sapa dengan mbak dan dijawab mas, berarti lanjutkan dengan mbak-mas. Tapi bila dijawab abang, berarti dirubah ke kakak-Abang.


"Iyaya bang. Sebelah mana bang ?". Tanya kakak itu sembari bercangkung didepanku.


"Kanan kak, tapi kiri perlu juga kak." Jawabku sembari menunjuk dibetisku kiri yang nyeri juga.


"Iya bang, maaf ya bang ditahan sedikit." Balasnya sembari mulai menekan kaki ku.


Damn, aku malu dan canggung dengan keadaan ini. Aku malu karena laki-laki kok bisa lemah gini sih. Dan aku canggung karena kakak ini baik hati mau menekan kaki ku. Kaki aku langsung loh. Bukan melalui sepatu atau kaus kaki.


Setelah ditekannya kedua kakiku, aku disuruhnya tiduran sembari mengangkat kaki ke langit. Aku pun langsung kaget dengan permintaanya.


"Hah ? Engga usah kak. Hehe gini aja sudah cukup." Refleks aku kaget dengan permintaannya. Aku tahu kok kalau mengatasi naik betis dengan menekan kaki yang menghadap langit sering dilakukan di sepakbola. Tapi aku malu dong dilihatin orang orang nanti.


"Ohh yaudah bang." Jawabnya.


"Iyaya kak, sudah mendingan kok ini kak. Hehe makasih banyak ya kak." Balas ku sembari mencoba berdiri pada tumpuan kaki kanan.


Dan benar saja, ini sudah mendingan dan aku bisa menekan ujung kaki ku ke lantai perlahan lahan namun pasti.


Aku kembali duduk dan mengambil kaus kaki di sepatuku. Tapi, baru aku sadari bila bayangan kakak ini masih berdiri dihadapanku. Sebab dari tadi kepalaku menunduk, pandanganku fokus ke kakiku.


"Eh kak. Makasih ya kak sudah nolongin. Gak olahraga kakak ?". Tanyaku sedikit heran karena aku mengira wanita ini sudah berlalu.


"Eh iya bang sama sama. sudah aman kan bang ?". Tanyanya yang sedikit mengangkat alisnya.


"Sudah kok kak. Aman ini kak."jawabku dengan melemparkan senyum terima kasih sembari memasang kaus kaki ku.


"Ohh iya bang, yaudah aku olahraga dulu ya bang." Balasnya seraya pamit dan berlalu.


Ya Allah, kenapa bisa pagi pagi gini tertimpa cobaan memalukan gini. Biasa kaki ku naik betis disaat renang aja. Lah kali ini jogging. 

Malah ditolongin perempuan. Gumam ku dalam hati sembari memasang sepatu.

Bukan aku menggerutu kepada Tuhan atas apa yang terjadi. Tapi aku berfikir mencari tahu sekiranya suatu hal apa yang akan terjadi kepadaku ? Sebab biasanya aku merasakan bila Tuhan berkomunikasiku denganku.


Beberapa menit berlalu aku hanya duduk sambil memainkan smartphoneku. Aku ngecek berita dan media sosial dan sedikit stalking dia. Belum ada aktifitas apapun di medsos karena mungkin masih pagi. Lantas aku hanya membaca baca berita terkini saja.


40menit lebih aku sudah disini. Cukup rasanya aku disini karena aku masih ada rasa ngantuk dan ingin kurebahkan segera di kasur.


Aku bangkit dan beranjak dari dudukku menuju motorku diparkirkan. Rasa nyeri dibetis sudah hilang. Bahkan kurasa aku mampu lari lagi. Tapi aku ngantuk. Lari ke alam mimpi lebih pantas rasanya.


Nah dikejauhan dekat parkiran kulihat perempuan yang nolong aku tadi sedang berolahraga memakai peralatan yang disediakan disini. Mau tak mau aku pasti berjalan menuju dia sebab dekat dengan parkiran.


Sepertinya kakak itu sadar aku berjalan ke arahnya, dia berhenti berolahraga dan tersenyum tipis ke arahku. Aku pun membalas mengingat dia yang menolongku.


"Eh kak, masih olahraga yah ?" Tanyaku heran sambil mengambil kunci di kantong celanaku.


"Iyaa bang, abang gmna kakinya ? Sudah aman bang?". Tanyanya sambil menyeka keringatnya.


"Sudah kak, sudah kembali normal gak berasa lagi malah." Jawabku sambil menarik sedikit celana panjangku dan meperlihatkan ke dia kaki kanan ku.


"Ohh iya bang baguslah. Ini mau balik bang?". Tanyanya, mungkin dia melihat kunci di tanganku.


"Eh iya nih kak. Haha." Jawabku malu sambil berjalan dikit ke arah motor.


"Ohh, tinggalnya dimana bang?". Tanyanya sembari berdiri dan jalan disamping ku.


"Eh dekat sini kok kak, kompleks perumahan jati." Jawabku yang sedari tadi risih mesti menjaga pandangan dari pakaian olaharaganya.


"Ohh. Haha gak jauh ya bang." Sambung dia.


"Ya lumayan, kakak orang mana ?". Tanya ku singkat sambil berhenti di depan motorku.


"Eh, aku di kota bang, pasar 2." Jawabnya yang ikutan berhenti juga.


"Ohh anak pasar dua toh. Eh aku diluan yah kak. Makasih ya tadi bantuin aku." Kataku sambil bersiap siap hidupin motor.


"Iyaya bang sama sama." Jawabnya.


Tanpa basa basi lagi aku langsung pergi.


Sejujurnya dari awal aku risih sebab perempuan itu berpakaian yang sporty. Dengan celana olahraga ketat dan menggantung smpai diatas lutut, baju yang dikenakan cukup minim dan menguncir seluruh rambutnya. Sungguh aku langsung mengingat iya. Aku tak mau berpaling darinya. Hatiku dan fikiranku terikat ketat untuknya.


Satusatunya cara adalah tetap menjaga pandangan dan menjawabi pertanyaannya tanpa banyak basa basi. Ini sering kulakuin ke wanita manapun. Bukan karena aku tak tertarik bicara dengan wanita, tapi ada hati dan komitmen yang mesti kujaga.


Siang ini entah dasar apa demamku naik. Badanku panas kepalaku pusing dan perutku juga gak bersahabat. Padahal dipagi tadi kondisi masih baik, namun setelah aku terbangun demam menghujaniku kembali.


Ahh aku tak suka kondisi ini, memaksaku tak melakukan apapun. Lantas kucukupkan cerita hari kesekian ini karena kondisi kurang fit. Aku hanya memantau info lowongan kerja melalui smartphone saja. Tentangnya ? Aku tak tahu lagi. Mungkinkah dia sudah menghide seluruh aktifitas sosmednya dari aku apa tidak, aku tak tahu.  Dan aku cuma bisa berkomunikasi lewat doa semoga masih ada hatiku untuknya.




Suatu hari di akhir Desember.

Aku berjalan menyusuri kota ini. Kota ini seperti kota mati bagiku. Dulu aku pernah tertawa bahagia disini. Dulu aku pernah menyatu dengan kebahagiaan di kota ini. Setelah aku memutuskan pergi merantau, dan kini kembali, semua terasa beda. Tak seperti dahulu lagi.


Kota ini yang dulu memberiku kenyamanan kini berubah menjadi kota yang asing bagiku. Aku memang kembali, tapi semuanya sudah beda. Aku berusaha untuk mencari kenyamanan kembali di kota ini, aku berusaha mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Tapi apa daya, aku tak kuasa.


Sore itu, diakhir desember aku duduk termenung di pinggiran lapangan bola. Ada pertandingan disana namun aku tak hampa. Kutuliskan secarik kertas di notebookku yang kubawa dari rumah, dan ku ambil foto tulisan itu dihadapan sunset di kota ku.



"Kasih aku kesempatan lagi ?. Ardhi." 

Yah tulisan itulah yang akan kukirimkan kepadanya untuk mengembalikan keadaan. Cukup lama aku mengasa keberanianku. Cukup sering aku tak tidur untuk memikirkan sore ini. 

Dan kini aku sudah siap lahir dan batin apapun yang akan dilakukannya.


Pukul 17.30, dan aku mengirimkan gambar itu ke watsappnya.


Tak ada tanda delivery. Aku tau dia di LN dan aku bersabar untuk itu.


Aku close wa ku saat itu juga.


Kembali perhatianku tertuju pada pertandingan bola ini. Dan itu hanya kamunflase, sebab fikiranku tak karuan, dan hatiku cemas.


Zzz.. smartphoneku bergetar.


Kulihat jam ditanganku sudah menunjukan pukul 18.00.


Lalu kuhidupkan dan kubaca pesan darinya. Isinya 


"Nanti malam sekitar jam 8 aku mau bicara dengan kamu.". Balasannya.


Sontak hatiku bergetar. Ini merupakan reply pertama dia setelah 2 minggu meng acuhkan ku. Ada perasaan senang karena kerinduan itu terobati sedikit, tapi ada rasa sesak dalam hati sebab aku tak ingin pembicaraan nanti malam tentang perpisahan. Tapi batinku mesti kuat dan siap menerima.


Sore itu aku langsung balik kerumah dengan fikiran yang berkecamuk.


Malam ini hujan turun lagi. Sudah dari tadi sore mendung tapi baru malam ini hujan tiba. Pukul sudah menunjukan jam 8 lewat 5 dan belum ada tandatanda kehadirannya di smartphone ku.


'hey malem, ini gimana ?" Kuberanikan diri mengkontak dia karena sudah 10 menit berlalu.


Namun tak ada tanda delivery, dan aku langsung close wa dan beralih membaca buku latihan.


Pingg.. pesan masuk.


Aku membuka pesan itu dan bertuliskan.

"Call, dhi". Pesannya.

Aku menarik dalam nafasku, ku ambil earphone dan menelfonnya.


"Hai, assalamualaikum risa." Salam ku ke risa (nama panggilannya iya)


"Hai, waalaikumsalam dhi." Sahutnya di luar negeri sana.


"Apa kabar kamu disana ? Baikkan ?" Tanyaku sebentar ke iya.


"Iya Alhamdulillah baik kok." Jawabnya.


"Syukurlah, kamu mau menyampaikan apa ke aku?" Tanya ku langsung dengan baik baik.


"Iya dhi, maaf ya sudah membuat kamu menunggu aku lama." Jawabnya.


"Aku selama ini memikirkan hatiku maunya apa, dan aku sudah menemukan jawabannya." Sambungnya..


Aku terdiam dan mengehela nafas.


"Aku rasa hatiku belum untuk kamu dhi, maaf ya. Aku hargain usaha kamu dulu bagaimana susahnya mengambil hatiku. Tapi belakangan aku sadar bila kamu bukanlah untuk aku. Sekali lagi maaf ya dhi, kamu pantes dapat yang lebih baik lagi dari aku dhi." 


Dia mengatakan itu dengan perlahan, cukup jelas ditelingaku dan mendengarkan dengan terdiam mencerna apa yang diucapkannya.


"Dhi kamu masih disana?". Tanyanya memecah lamunanku.


"Eh iya ris, aku denger kok yang kamu ucap. Hehe. Ya mau gimana lagi, aku sudah berusaha dan takkan memaksa kamu untuk bertahan. Karena cinta gamesti dipaksa kan.". Balasku sok bijak padahal sumpah hatiku seperti gelas pecah.


"Gaak kok, aku juga sudah memaksakan hatiku untuk kamu tapi rasanya belum dhi. Walaupun aku menerima kamu tapi masih ada kejanggalan dari hatiku, sama aja kan dhi. Aku yakin kamu ngerti aku, kamu lebih dewasa dari aku." Balasnya dari sana


Aku tak kuasa menahan air mata ini jatuh. Tapi aku berusaha tenang dengan intonasi nada suaraku.


"Yasudah deh ya gaapa, bila ini yang kamu inginkan maka ini yang terbaik buat kamu juga. Jaga diri kamu baik baik ya, jangan sering lupa minum obat dan telat makan, terutama saat kamu fokus tesis nanti. Yasudah aku mohon pamit dari hidup kamu, salam buat ayah dan ibu kamu. Assalamualaikum." Ucapku dengan tegar.


Itu adalah kepalsuan terhebat dalam hidupku, aku bisa mengelabui suaraku agar tetap calm disaat hati ku hancur, fikiranku juga entah kemana, serta air mata yang keluar.


"Iya Waalaikumsalam dhi, kamu juga yang kuat ya jangan nangis yaa. Banyak kok yang lebih baik dari aku." Jawabnya tenang dari sana.


Tutt.. telfonan berakhir.


Durasi yang singkat itu sukses membunuh jiwaku.


Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan. Malam itu lebih sakit dari malam malam sebelumnya. Malam itu aku tak sanggup lagi bercerita bagaimana kondisiku. Besoknya aku drop lagi dan kuputuskan untuk menghapus namanya dari sosial media ku.


_"Dia yang paling kusayangi, paling kucintai kini telah pergi dari hidupku"_. Akhir desember.


Itu adalah fakta yang tak terhindarkan dari aku.


Perlahan namun pasti aku mulai berdiri dan menutup hati sementara waktu. Aku perlu sembuh untuk bisa melangkah dengan harapan baru. Dengan menyingsing tahun baru ini, aku menitipkan harapan agar lebih baik lagi dari tahun lalu. Biarlah diawali dengan penderitaan yang luar biasa, agar menjadi cikal bakalku untuk memperbaiki pilar hidup ku di tahun yang baru ini.


"Sesuatu yang kamu dapatkan akan pergi hilang meninggalkanmu, maka siapkan batin untuk itu." Aku teringat dengan pesan pak dewan.


"Masalah jodoh, Tuhan tak pernah keliru cuma manusia aja yang ragu." Begitulah pesan pak heri yang teringat di benakku.


Sekian catatan akhir tahun tanpa warna ini. Aku yang selama ini menepi, berteduh dan menunggu hujan reda kini sudah kembali jalan. Hujan sudah reda, saatnya bercanda dan berlari bersama mentari.


Medan, disuatu tahun 2000an.



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.