Lembah Danau


Oke ini pertama kalinya aku bikin horor story

Cerita ini kudapat dari seorang teman yang membagi kisah tak terlupakannya kepada ku. Untuk lebih menarik, aku tuliskan kisah ini berdasarkan sudut pandang pertama. Tanpa memperpanjang mukadimah, mari berselancar..
_________________________________________________________________________________
Chapter One :
.PARANOID.


Lets story begin..

Cerita ini tentang kegiatan survey desa yang menjadi tugasku dan tim pada salah satu instansi pemerintahan yang tanpa sengaja bersentuhan dengan 'makhluk lain' di tahun 2004.

Di tahun itu, kondisi negara mulai stabil. Beberapa kebijakan baru diciptakan pemerintahan untuk memakmurkan masyarakat dan lepas dari bayang2 krismoneter yang terjadi 1998-2000.

Salah satu kebijakan pemerintah waktu itu adalah melakukan sensus penduduk dan ekonomi ke seluruh pelosok negeri. Otomatis ini menjadi tugas instansiku yang menaungi kemasyarakatan.

Atasan kami membagi 10 kelompok untuk diterjukan ke masing masing desa di salah satu daerah di Sumatera. Masing-masing kelompok teridiri 3 orang. Dikarenakan jumlah pegawai survey di instansi kami tidak banyak, maka kami membuka valounteer di daerah itu untuk bisa disisipkan ke kelompok sehingga memenuhi kuota.

Hari H tiba. Sebelum berangkat, kami berbaris untuk briefing kelengkapan dan doa keselamatan di tempat parkir instansi. Kami diberikan waktu 2 minggu untuk terjun melakukan survey. Tempat inap sudah dikondisikan oleh setiap kepala desa.
Atasan juga berpesan untuk saling menjaga diri, sebab dalam kelompok ada yng terdiri satu wanita 2 lelaki, atau sebaliknya. Oleh karenanya kami harus menjaga nama baik di kampung orang.

Tepat pukul 9 briefing usai dan kami berangkat ke masing-masing desa menggunakan mobil dinas. Mobil ini tetap.berada di dinas nantinya. Maka bila ada nantinya yang membutuhkan mobil, harus menelpon atasan dan setidaknya harus nunggu beberapa jam untuk tiba di desa.

Jalanan naik turun, meliuk-liuk, pohon pohon hutan menjulang tinggi. Lokasi desa dari tim aku tepat di lembah Pegunungan Bukit Barisan. Semua tampak sejuk dan tenang saat kami menyusuri jalanan. Bisa ku katakan aku jatuh cinta dengan panorama ini. Namun setelah kejadian itu, aku urung untuk kembali ke desa ini.

Aku, gita dan nando. Kami bertiga adalah tim task force 7 yang bertugas di desa ini. Nando merupakan orang asli daerah sini. Jadi kami berharap banyak padanya untuk memudahkan kami berinteraksi dengan warga.

Gita ini rekan kerjaku yang lebih muda dariku. Sehari sebelum berangkat, gita nyamperin aku

G (gita), A (Aku)
G:bang, udah dapat data-data kepala keluarga (kk) disana ?
A: udah git. Tapi data terakhir tahun 96.
G: ooh lama juga ya bang. Abang ada gali-gali info tentang desa itu gak bang?
A: ya cuma jumlah kk sama lokasinya aja yang gajauh dari danau. Kenapa emangnya?

G: ga sih bang, gita mau kasih tau ke abang nih tapi diem2 aja ya jamgan kasih tau yang lain.
A : wuih apa tuuh? Iya gak aku kasih tau.
G: sebenarnya gita terpaksa kasih tau karena kita satu tim. Gita bisa lihat "mereka"
A: ohyaa? (Aku kaget) wahh bisa dikontrol gak git ?
G: kadang bisa kadang engga bang. Makanya nanti tolong ya bang agak jagain gita. Soalnya gita paling takut ke tempat baru

A: ooh oke. Iyaiya siip janji.
G: betul ya bang !
Setlah itu kami ngobrol tentang masalalunya di Aceh yang horor sekaligus mencekam yang akan kuceritakan di lain chapter.

Kami tiba didermaga danau biru. Perahu penyebrangan sudah siap untuk menghantarkan orang-orang menuju Desa Lembah Danau. Untuk bisa menuju desa ini, masyarakat harus menaiki perahu dari dermaga Anes. 


Perjalanan dari Anes memakan waktu setengah jam untuk bisa mencapai desa. Tidak ada safety pelampung. Ini hanya perahu sederhana. Hanya mengandalkan jerigen 5kg yang kosong sebagai pelampung. Konon kata nando yang memang putra asli daerah ini mengatakan danau ini 'hidup'. Sering minta tumbal.

Setibanya kami di dermaga Desa Lembah Danau, kami menurunkan barang kami. Dibantu dengan abang-abang tukang becak yang menawarkan jasa angkutan disana. Lalu kami pun pergi kerumah pak kades dengan 2 becak karena barang yang dibawa memang cukup banyak

Setibanya kami dirumah kepala desa, kami langsung disambut oleh istri dan anak kecil. Kami langsung menurunkan barang-barang kami dan Bang nano yang membantu membawakan barang kami, langsung pamit balik karena masih ada tugas untuk antar beberapa task force lainnya.

Jam menunjukan pukul 11 siang. Itu artinya kurang lebih sejam perjalanan yang kami tempuh. Kami langsung menyapa dan menyalami ibu itu dengan wajah yang datar.

N (nando), Ibu, G (Gita), A (aku)
Nando bertanya dengan ibu itu dengan bahasa  daerah yang kurang lebih artinya begini,
N : bu ada bapaknya ? Kami dari dinas. Udah bilang sama bapak kemarin
Ibu: ada. bapak lagi dibelakang menunggu kalian. Masuklah dulu, mau hujan diluar. Pinta ibu itu.

Well tak tau kenapa, suasana jam 11 siang berubah layaknya jam 6 sore. Mendung yang tebal, angin yang kencang, gemuruh yang bersahutan, seolah sambutan alam yang tak menerima akan kehadiran kami.

Gita tiba tiba menarik lengan bajuku dan berbisik, aku membungkukkan telingaku
G: bang Fad, barusan ada orang yang ngmong difikiranku. Aku kira ada orang dibelakangku, tapi hanya ada nenek-nenek tua itu (gita sambil mengarahkan aku melihat rumah tua, seperti mau roboh dan penuh semak yang terletak diseberang jalan).
A : mana git ? Engga ada tuh.
G : ada tadi bang. Wajahnya gelap, badannya bungkuk, sorot matanya putih diujung sana.
A : okey, terus ngomong apa dia ?
G : "p e r g i". Dia ngmong gitu. trus nenek tu mnghilang dibalik semak tu.
A : damn it. Nnti kita bicarain ya git. Kita fokus aja dulu kerja, okeh ? (Aku menatap mata gita untuk menguatkannya)
N : bang, kak, masuklah, bapak didalam ini. (Kata nando yang sudah berdiri dipintu masuk)
Kamipun masuk

Kami berkenalan dengan pak jhonson, kepala desa ini. Perawakannya seperti orangtua pada umumnya, tatapan wajahnya garang, rahangnya yang terbentuk jelas, kulitnya coklat tanda rajin berladang, juga ada bekas luka di kakikaki beliau.

Singkatnya, bapak mendeskripsikan kondisi kepala keluarga (KK) desa ini. Beliau juga menerangkan profesi kk disini. Dan beliau juga menerangkan cakupan wilayah desa ini. Batas batas desa sampai tempat tempat 'terlarang' yang gak boleh dimasuki oleh tamu.

Kemudian kami beranjak menuju tempat peristirahatan kami. Sambil ditemani pak kades, kami berjalan menyusuri jalan desa ini.

Kami melewati rumah rumah warga sekitar. Beberapa raut wajah tampak datar. Ada juga beberapa yang menyapa balik kami dengan senyuman. Dan ada juga beberapa orang yang melihat kami dari balik bilik pintu atau jendela layaknya melihat rentenir, paranoid.

Mataku tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang gadis di kejauhan. Rambutnya tergerai dan membawa handbag warna hitam. Dia hanya diam menatap kami. Bebera detik kemudian mata kami saling kontak. Meskipun jaraknya cukup jauh, tapi aku yakin betul gadis itu menatapku juga. Gadis ini akan berperan nantinya dalam konflik.

Hujan sudah mulai turun. Kamipun tiba di rumah penginapan kami. Sebagai gambaran, rumah ini tak memiliki asbes. Hnya seng dan kayu kayu sebagai pilar penyanggah. Beberapa lawang-lawang juga bersarang di ujung-ujung dinding. Rumah ini memiliki 2 kamar tidur 1 ruang tamu dan kamar mandi.

Lantainya masih semen, dan itupun beberapa ada yang terkelupas. Dindingnya separuh batubata separuhnya lagi kayu papan yang membuat nuansa horornya semakin berasa. Untungnya setiap jendela ada gorden walaupun sangat berdebu

Tapi gawat bagi gita sebab kamar mandi tak memiliki pintu yang layak, dindingnya hanya kayu papan dan tak ada asbes diatasnya. Itu artinya kamu tahu betapa harus wasapdanya dan tidak nyamannya gita bila ke kamar mandi.

Aku dan nando mengambil kamar depan dan gita di kamar tengah. Pak jhonson menjelaskan rumah ini adalah rumah kedua beliau yang diperuntukkan untuk anak2nya yang masih di perantauan. Meskipun sangat sederhana setidaknya sudah memiliki seng dan pintu yang membuat rumah ini layak ditempati

Pak kades izin pamit dan mempersilahkan kami menggunakan fasilitas dirumah ini. Lalu kamipun memberesi koper dan barang2 kami. 

Sekitar 5 menit kami memberesi kamar, tibatiba
"Tengg tenggg tengg" terdengar suara besi jatuh cukup keras.
Suara itu mengagetkanku dan nando. Kami saling bertatapan untuk spersekian detik

"Gitt, kau yang jatuhkan besi?" Aku tnya ke gita dari kamarku.
"Enggak bang, gita gada bawa besi" jawab gita dari kamarnya.
Sontak aku dan nando saling menatap heran. Kalau bukan gita, lalu siapa yang dirumah selain kami?

Kami pun bergegas berjalan kearah belakang dimana lokasi suara itu terdengar. Tepat dibelakang, kami menemukan sebuah besi tua bekarat terletak di tengah lantai. Aku yakin asal suaranya dari besi tua ini. Sebab waktu aku dan pak kades tadi kebelakang ngecek kondisi kamar mandi, tak ada apapun di tengah lantai

Kuambil besi tua itu dengan mengucapkan doa2. Aku yakin aja bila barang itu dari 'mereka' sebagai media untuk interaksi dan bereksistensi keberadaan mereka. Ku letakkan kembali besi itu di pojok dapur dekat kompor minyak tanah sambil aku bergumam dalam hati:

"Ya tuanku penghuni disini, hamba dan teman hamba amit permisi mohon izin untuk beberapa hari menetap disini." Gumamku dalam hati.

Siang itu, kondisi hujan deras, hawa dingin mulai menusuk sanubari. Kami pun memutuskan untuk tidur siang aja karena lelah. Nando tidur di kursi tamu berselimut sarung karena menjaga-jaga kami juga. 

Siang itu aku beneran terlelap smpai terbangun pukul 5 sore.
"Astaghfirullah, belum sembahyang" gumamku ketika melihat jam tangan.
Meskipun dibagian belakang rumah terdapat salib kasih, setidaknya aku bisa sembahyang dikamar.
_________________________________________________________________________________

Chapter Two :
Goa Dusun Limbo


Gambaran Goa Dusun Limbo, Sumber Google.com


"sunyi tak kentara, suara tak bertuan."

Aku menggigil di pagi pertama disini. Badanku belum sepenuhnya menerima temperatur disini. Kulihat nando tenang saja dengan pakaian kemeja dan celana jeansnya. Sementara aku dan Gita sudah full jaket dan celana dinas bahkan dia memakai sarung tanganpun masih kedinginan. Kulihat beberapa warga juga sudah mulai beraktifitas seolah menghiraukan temperatur yang bisa mencapai 15"C ini.

aku nando dan gita bersiap untuk ke kantor desa untuk memulai agenda rapat dengan perangkat desa. Kami berjalan melewati permukiman. Tak ada rawut senyum atau bahkan sapaan balik dari warga.

Sapaan kami hanya dibalas anggukan dan tatapan ketakutan. Bahkan anak-anak sekolah yang berpapasan dengan kami mengacuhkan kami dengan terus jalan sambil menununduk. Seperti kecerian di desa ini direngut sesuatu. Padahal mengacu pada panoramic disini, desa ini begitu wonderfull, sunyi dan tenang.

Kami berhenti sebentar di warung kopi. Ku sapa orang-orang disana dengan bahasa daerah yang artinya begini...

A (aku), N (Nando),  G (Gita) w (warga),pak roy, buk rosa
A : permisi pak, buk. Kami dari dinas daerah akan melaksanakan tugas survey di desa ini. Kurang lebih 2 minggu ( sambil memberikan senyumam dn menatap 3 bapak-bapak dan ibu penjualnya).
W : ..... ( mereka hanya mengangguk dan menatapi kami).

Kemudian ada bapak-bapak yang duduk sendiran sambil menghisap rokoknya.
Pak roy : nak, nama kalian siapa ? (Dengan bahasa asli daerah sini)

Kami berjalan pelan menghampiri bapak-bapak itu
N : ini pak fad, ini buk gita, saya nando, pak. (Nando menjawab dengan mengenalkan kami).
N : bapak ?
Pak roy : oh. Saya pak roy. Ada perlu survey apa kalian ini ? (Sambil menghisap rokoknya)

N : jadi gini pak, dari pemerintah kasih tugas untuk mendata jumlah penduduk dan kerjanya apa apa aja.
N : ya di semua desa juga begitu pak. Jadi kami ini yang ditugasin di desa ini.. ( jawab nando sambil mulai duduk didepan pak roy)
Pak roy : ooh berarti bukan dari wartawan kalian kan ? (Raut wajah pak roy berubah jadi serius menatap nando)

N : oh engga pak roy. Kami bukan wartawan hehe yakan pak fad ? (Jawab nando dengan melemparkan senyuman ke aku)
A : iya kami dari dinas pak. Kemari pun karena tugas pak.
Pak roy : oh, soalnya kalau wartawan, kami tak perlu menerima lagi.

A : oiya pak ? Kalau boleh tau, kenapa begitu dengan wartawan pak? (Tanyaku ke pak roy)
Kemudian tiba tiba disambung..
Buk rosa : sudahlah roy, cukup. Biarkan mereka bekerja.
Nando dan aku refleks menoleh ke belakang, melihat sumber suara..

Kami diam untuk beberapa saat. Lalu..
G : maaf bu bila menganggu nantinya, kami akan menerima nasehat dan bimbingannya. (Jawab gita kepada ibu itu)
Buk rosa : yasudah, kalian kerjakan saja pekerjaannya. Anggap saja ini desa kalian juga. Kalau ada perlu apapa bilang sama ibu ya nak.. (jawab ibu itu ke kami)
G : iya baik bu. saya gita bu. Kalau boleh tau ibu namanya ? (Tanya gita dengan menjulurkan tangan kanannya)

Buk rosa : rosa nak. Panggil buk ros atau buk rosa bisa juga hehe. Jawab bu rosa dengan nada bercanda dan menyalam gita
Gita : iya hehe buk. 

Jujur baru ini kumelihat senyum warga di desa ini.

A : yasudah pak roy, buk rosa, kami ke kantor desa dulu ya pak. Ada rapat hehe. (Aku bangkit dari tempat duduk dan pamit)
B.Rosa : iya nak silahkan.
Gita : permisi ya bu.. 

Kami pun beranjak ke kantor desa.

Well agenda rapat berjalan lancar. Kami bertemu dengan seluruh perangkat desa dan beberapa kepala dusun. Kami menyampaikan seluruh program kami. Kami tidak hanya menerima data penduduk dari para dusun. Tapi kami juga akan turun door to door bila memungkinkan. Besok kami akan memulai door to door.

Waktu sudah sore. Matahari sudah sembunyi dibalik gunung. Aku mengajak dita dan nando untul keliling sekitar desa agar lebih mengenal likaliku seluk beluk desa. Kami menyusuri dusun demi dusun.

Kami jalan menuju ke utara dari kantor desa. Perlahan permukiman mulai sedikit. Tumbuhan hutan dan pohon pohon menjulang tinggi. 

Setengah jam kami berjalan, kami mendapatkan suatu dusun. Kalau gak salah dari hasil rapat tadi, nama dusunnya itu dusun limbo. Anehnya keadaan disini sangat amat sepi. Tak ada aktifitas apapun. Rumah disini juga lebih sederhana dari dusun tempat kami tinggal.

Kami tetap melanjutkan langkah kami sambil memperhatikan keadaan disana. Ada persawahan disana yang begitu mempesona dengan latar pegunungan dan danau. Ada juga sungai yang mengalir dari atas menuju danau. Namun ada satu jalan setapak kecil yang menarik perhatian Gita.

G : kesana yuk. Aku penasaran
A : kayanya gada dusun disana deh git
N : iya engga ada apapun disana kak
G : tapi aku lihat ada orang tadi disana.
A : dimana ? Gada tuh.
G : ada bang. Yoklah
A : hmm yaudah iya.

Kami pun melangkah kesana. Pohon pohon hutan tinggi menjulang disamping kanan kiri kami. Suara suara hewan seperti jangkrik juga makin terdengar (aku tak tau nama serangga). Aku mulai merasakan hawa gak baik. Setiap langkah seperti diawasi oleh sesuatu didalam hutan sana.


Gita mungkin menangkap "mereka" yang menghuni disini. Tapi rasa penasarannya tinggi untuk keukeuh menyusuri jalan setapak ini. Nando juga memperhatikan kanan kiri sekitar. Aku hanya berharap kami tidak bertemu hewan buas yang bisa melenyapkan kami. 

Tahun 2004 keadaan di bukit barisan sangat kaya akan flora dan faunanya. Dari yang buas dan langka bisa kalian temukan disini. Terutama di lembah bukit barisan yang memiliki danau ini.

Langkah kaki kami berhenti tiba-tiba. Gita yang berjalan paling depan berhenti seperti melihat sesuatu. 
A : ada apa git ? Balik kita yuk? (Aku mulai cemas karena semakin minim penerangan)
G : bang, liat deh itu. Ada goa. (Gita menunjuk dengan tangannya).
A : eh iya, kok engga ada informasi apapa ya tentang goa ini

Kami melangkah pelan pelan dengan hatihati untuk mendekati goa itu. Goanya cukup besar. Tingginya sekitar 2 meter dan lebarnya kurang lebih 3 meter. Di depan goa banyak terdapat bambu, kayu habis terbakar, kelopak-kelopak bunga yang berserakan.

Kami perhatikan keadaan sekitar goa. Terlihat banyak stalagmit menjuntai di langi-langit goa. Di pangkal goa juga terlihat tanaman pandan yang disusun rapi, serta beberapa tombak

A : goa ini keliatan seperti pintu masuk yakan ? (Tanyaku kemereka)
G : iya kayanya bang
A : liat nih (aku menunjuk tanaman pandan dan tombak yang disusun rapi terikat diantara sudut kanan atas dan kiri atas pada.goa),
A : kalau goa ini terbengkalai, pasti itu gada.
N : iya sih bang. Aku juga baru tau ada goa disini.

G : kayanya Goa ini sengaja enggak dipublikasikan deh. ( Gita jongkok disamping pintu masuk goa)
G : lihat nih bang.. ( gita mengambil sesuatu dari tanah dan menunjukkan ke kami)
A : apa itu git ?
G : id card, bang. Punya wartawan dari xxxx.
A : ih iya, pernah ada wartawan ya kemari. Tapi kok gapernah abang jumpa ya informasi dari wartawan ini tentang desa ini. ?

N : mungkin gak semua belum abang sapat infonya bang.. (nando yang mengbil idcard itu dan melihat kedua sisi dari idcard itu)
A : hmm yaudah yuk balik kita. Makin gelap nih, kita gabawa senter. (Aku memperhatikan keatas bila gelap mulai hadir).

Namun tiba-tiba...

"Wsssyuuhhhh~"....


Tiba-tiba saja angin bertiup sebegitu kencangnya dari dalam Goa tersebut.

Kami yang berdiri tepat di depan goa, langsung tersungkur ke tanah.

Untuk bebrapa saat, telinga kami tak mendengar apapun. Gempuran angin dari dalam goa itu memekakkan telinga kami

Aku dan nando pelan-pelan mencoba berdiri. Aku menarik tangan gita agar segera bangkit.

Tiba tiba aku mencium aroma busuk. Seperti bauk daging busuk. Aku tak sempat lagi memikirkan dari mana sumber bau busuk itu. Keadaan kami panik. Tanpa berdialog apapun, kami bertiga lari panik sekencang-kencangnya seperti dikejar hewan buas.

Kami lewati pemukiman dusun limbo tadi. Entah kenapa mataku sepintas melihat sesosok perempuan memandang kami dari salah satu rumah. Rupa wajahnya sangat menakutkan, seperti manusia jadi-jadian. Mulutnya seperti bersimbah darah hingga ke dagunya. sorot matanya melototin kami yang berlari kencang ini. Lehernya miring dan tangan kanannya memegang tongkat.

Kami masih berlari kencang hingga melewati pemukiman tersebut. Nando berlari didepan gita, dan aku dibelakang gita. Itu artinya nandolah yang membawa jalan.

Tanpa sadar kami sudah berlari terus menerus tapi tak menemukan kantor desa. Seingatku bila berjalan menghabiskan setengah jam, mengapa kami sudah lari segitu lamanya tapi tak menemukan kantor desa ?

Nando berhenti dengan ngos-ngosan. Kami juga berhenti dan aku menyandarkan tanganku di salah satu pohon untuk mengontrol nafasku yang terengah-engah.

A : do, kantor desanya kok gak nampak dari tadi ? (Aku masih sambil terengah-engah)
N : itulah bang, nando juga bingung. (Nando juga terengah-engah)
N : kita daritadi lari berdasarkan jalan setapak tadi kok bang.
A : iya tapi kok masih dihutan gini kita ? Aku bahkan merasa asing sama hutan ini.
A : rasanya kita tadi masuk tak lewat sini deh do. (Aku memperhatikan keatas, pohon-pohon tinggi yang asing dimataku.
N : iya bang. Nando rasa kita tersesat.(nando juga memperhatikan keadaan sekitar

Aku mengecek jam tanganku. Kebetulan juga aku teringat di jam tanganku ada kompas mini
A : Astaghfirullah baru jam 6 sore tapi ini sudah gelap banget.
Keadaannya memang begitu mencekam. sumber cahaya hanyalah sisa-sisa sinar matahari dari balik gunung.
G : Kita harus lari bang. Ada sesuatu dibelakang kita sepertinya. (gita menoleh ke belakang"

Aku dan nando menoleh kebelakang. Kami memperhatikan dari jauh terlihat ada yang goyang dari semak-semak disana. Semakin lama semak-semak itu semakin bergetar. Kaki ku  terpaku tidak bisa melangkah kemanapun. Aneh. Aku bergumam dalam hati apakah itu binatang buas, ataukah manusia. Bila saja itu binatang buas, maka matilah kami hari ini juga. Tanpa senter dan senjata ataupun tools sangat mustahil bisa melawan binatang buas.

Betapa kagetnya kami. Yang keluar dari semak itu bukanlah manusia ataupun binatang buas. Seekor siluman anjing. Badannya sebesar serigala, warnanya hitam seluruhnya. Sorot matanya berwarna merah. Mulutnya penuh dengan liur yang berlumuran seperti anjing gila. Suara geramannya bahkan terdengar oleh kami padahal jaraknya cukup jauh. 

A : sstt. coba tenang dulu. Kalau dia ngejar, kita lari  dan ikutin aku, nando nanti dibelakang kak gita ya. (aku bersuara pelan sambil memperhatikan arah selatan di kompas kecil ku)

dan anjing itu tanpa ronggong-gongan langsung berlari kearah kami.

kami lari..

Terpaksa aku memilih jalan yang melewati semak-semak dan hutan. Karena bila kami mengikuti jalan setapak ini, maka kami akan tetap tersasar. Panduanku hanya kompas kecil di jam tanganku saja. 

Kami melompati batang-batang kayu tumbang dan semak-semak. Sepersekian detik aku melihat kebelakang. Gita tepat dibelakang ku dan selanjutnya nando. Kulihat anjing itu masih berlari mengejar kami. Dia tak melompati dahan-dahan atau kayu tumbang itu. Aku makin yakin bila itu siluman jahat.

Kami semakin berlari sejadi-jadinya sebab sumber cahaya di hutan ini mulai menghilang.

hutan disini betul-betul senyap. Bahkan aku hampir tak mendengar suara lari kami. Mungkinkah telinga kami masih pekak ? aku tak tau. Tapi sekencang kami berlari, aku benar-benar tak mendengar suara apapun. Hanya suara nafas ku yang terdengar.

tiba-tiba kami terjatuh, terguling-guling, terjun seperti di lereng bukit

Aku tak memperhatikan jurang ini sewaktu lari.

Lalu kami terhenti berguling di dasar bukit. Ku bantu gita dan nando untuk berdiri. 
G : Aduuh bang, kaki gita gak sanggup lagi. (Gita sambil memegang engkel kakinya)
Tanpa basi basi, aku gotong gita dengan kedua tanganku di depanku. Gita langsung merangkul tangannya kebelakang leher ku.

Kami pun mulai berlari. Kulihat sudah ada setitik cahaya di depan sana. "Alhamdulillah pemukiman" dalam gumamku. Saat kami berlari mendekati pemukiman, ku lihat didepan ada seorang wanita berdiri dengan membawa obor. Wanita ini tak asing dimataku. Semakin kami mendekatinya, ternyata gadis ini adalah gadis yang kulihat kemarin pagi merangkul hand back.

A : Tolong kami, ada susuatu yang aneh mengejar kami. (kami berhenti tepat didepannya) 
Gadis : Pulanglah, kalian sudah aman. (Gadis itu tak menatap kami, dia menatap dengan serius kebelakang kami)
A : Terimakasih (Aku masih terengah-engah kelelahan dengan gita yang masih ku gendong).

Gadis itu perlahan berjalan kearah belakang kami. Kami pun melihat kebelakang dan memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Kami lihat siluman itu berdiam diatas bukit (tempat kami mulai jatuh terguling itu). Lalu gadis itu mengucapkan sesuatu pada tangan kanannya yang aku tak terlalu dengar. Kemudian dengan berani dia melemparkan sesuatu dari tangan kanannya kearah siluman itu. Seketika siluman itu pecah, musnah begitu saja.

Kami terdiam dan shock apa yang kami saksikan. Tak pernah aku melihat kejadian seperti ini sebelumnya. Nando juga sampai terduduk melihat kejadian tersebut. Ada perasaan lega sebab siluman itu telah pergi. Tapi aku juga terpana dengan keberanian gadis itu. Kemudian gadis itu kembali berjalan ke arah kami..

Gadis : Mari

Kami pun megikutinya dari belakang. Kuperhatikan lingkungan sekitar dan aku lega kalau kami sudah berada di dusun tempat kami tinggal. Aku langsung melihat rumah penginapan kami. Dibawanya kami kesuatu rumah yang tak jauh dari rumah penginapan kami. Rumah yang sederhana dengan dinding semen yang belum di warnai dan lampu teras yang tak begitu terang. 

Ku turunkan Gita dari gendonganku. Dibantu gadis itu dan nando, gita perlahan mampu berdiri

Gadis : Yuk mari masuk. (dia membuka pintu rumahnya)

kami pun masuk dan duduk di ruang tamunya. Gadis itu pergi kearah belakang rumah. Kuperhatian sekeliling ruang tamunya. Terdapat beberapa Foto keluarga dan kaligrafi islam. Kulihat gita menahan perih sambil memijit engkel kakinya. 
A : Sini biar aku aja git. (Aku memijat perlahan engkel kakinya berharap dapat mengurangi rasa perihnya)
N : Bang, tadi itu apa ya ? Aku baru ini melihat makhluk seperti itu.
G : Itu siluman, nando. Tapi kakak juga baru ini dikejar siluman. Karena biasanya siluman tak mau mengejar, hanya menampkan diri saja."

tiba-tiba ada sesosok ibu-ibu yang tak asing dimataku keluar dari pintu kamar
Buk rosa : "Bareong. Orang sini menyebutnya sang bareong."
G : eh bu ros, ibu tinggal disini ? 
Buk Rosa : Iya nak. Beruntunglah kalian tidak digigit oleh bareong. (Buk rosa duduk didepan kami)
N : Emang apa yang akan terjadi bila kami digigitnya bu ? (Nando bertanya serius)
Buk Rosa : Bagian yang digigit akan mengalami cacat total, perlahan seluruh tubuh akan lumpuh. Lalu mati. (Jawab bu ros dengan sangat amat serius)

Kami terdiam mendengar jawaban ibu ros. Jawaban itu berhasil membuat merinding seluruh tubuhku. Gadis datang dengan membawa cangkir teko rantang yang berisi air dan handuk kecil.
Gadis : Bareon hanya muncul di hutan utara. Apa yang kalian lakukan disana sore hari ? (Gadis itu sambil meletakkan semuanya didepan kami dengan raut wajah yang datar).
Buk rosa : nanti dulu dijawabnya. Minumlah dulu nak, kalian pasti lelah.
N : Iya baik bu.

Buk rosa : Kaki kamu kenapa nak gita ? (ibu ros sedikit bangkit dari duduknya dan memperhatikan kakinya gita)
Gita : oh tadi ini kami terguling dari bukit belakang, jadi kaki gita seperti terkilir gini bu.
Buk rosa : Biar ibu obatin ya nak. (Ibu ros mulai memasukkan handuk kecil itu ke rantang yang berisi air)
Buk Rosa : Tahan ya nak, ini agak hangat (Ibu ros mengompres engkel gita sambil memijat-mijat kaki gita)
Gadis : lalu, apa yang kalian lakukan di hutan utara ?" (Gadis menatapku datar)

Aku nando dan gitapun menceritakan kembali kronologi semuanya.

~
Malam semakin malam. Semua urut waktu kejadian sudah kami ceritakan. Tapi kami lupa menceritakan tentang id card wartawan itu. Faktor lelah membuat kami ingin segera kembali ke rumah. Ibu ros meminta gita untuk tidur dirumah mereka saja. Biar kami yang kembali ke rumah penginapan kami. Setidaknya sampai gita tak merasa nyeri di engkelnya. 

____________________________________________________________________________________________

Chapter Three :
.CHAOS.



Gambaran Bareon. Sumber Google









1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.